Diglosia
Agak mirip dengan kedwibahasaan, diglosia adalah penggunaan dua
bahasa atau lebih dalam masyarakat, tetapi masing-masing bahasa mempunyai
fungsi atau peranan yang berbeda dalam konteks sosial. Ada pembagian peranan
bahasa dalam masyarakat dwibahasawan terlihat dengan adanya ragam tinggi dan
rendah, digunakan dalam ragam sastra dan tidak, dan dipertahankan dengan tetap
ada dua ragam dalam masyarakat dan dilestarikan lewat pemerolehan dan belajar
bahasa.
Hubungan
Kedwibahasaan dan Diglosia
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa kedwibahasaan dan
diglosia berhubungan dengan penguasaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat,
berikut ini dikemukakan hubungan keduanya.
1.
Masyarakat Dwibahasawan dan Diglosik
yaitu
masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara
bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing.
Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Hal ini dapat dilihat juga di
Malaysia dengan bahasa Inggris dan Melayu, Filipina dengan bahasa Inggris dan
Tagalog, dan di Haiti dengan bahasa Perancis dan Kreol Haiti.
2.
Masyarakat Dwibahasawan tetapi takdiglosik
yaitu
masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara
bergantian, dengan masing-masing bahasa memiliki peranan yang sama. Hal ini
terlihat pada masyarakat Montreal Kanada.
adalah
gambaran suatu masyarakat karena ikatan negara terdiri atas dua golongan,
masing-masing ekabahasawan dan apabila berkomunikasi membutuhkan kehadiran
penerjemah. Gambaran seperti ini terjadi di Eropa sebelum perang dunia II.
4.
Masyarakat takdwibahasawan dan takdiglosik
adalah gambaran
masyarakat ekabahasawan murni tanpa adanya variasi penggunaan bahasa. Pada saat
ini sangatlah sulit untuk mendapatkan gambaran masyarakat yang takdwibahasawan
dan takdiglosik.
Diposkan
oleh Yosi Abdian Tindaon di 08.24
Sosiolinguistik: Kedwibahasaan dan Diglosia
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan
(Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer di atas,
dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan
pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau
bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia
menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two
language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara
bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian
menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut
dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar
seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa
kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu
mengenal bahasa tersebut.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer,
2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat
awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold,
bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh
orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada
tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat
rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang
banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada
tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari
hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun,
kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang
digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya
bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh
seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada
pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado
tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentang incipient
bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled
bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya
harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Terlepas dari ada atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai sistem
kedua bahasa yang digunakan, setidaknya penutur telah mengenal bahasa atau
istilah-istilah bahasa yang digunakannya. Hal itu senada dengan Chaer (2004:84)
yang mengemukakan,
Untuk
dapat menguasai dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan
perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa
Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa
daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah
disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa
Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang
seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda dkk.,
2007:26). Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan
bilingualisme, tetapi diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan
keadaan masyarakat tutur, yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau
ragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar